
Departemen Sihir
CERPEN
Karya: Dody Widianto
12/1/2025


SAMPAI di sebuah kantor bercat biru muda aku sedikit mendongak. Berlantai lima dengan pojok samping kanan bangunan menjulang menara lancip tinggi dengan ujung nyala api. Kucubit lengan dengan gemas. Iklan di Facebook ternyata bukan bualan semata. Ini bukan mimpi. Bangunan aneh yang ujung tugunya mirip Monas. Di halaman depan ada lingkaran pancuran air dengan diameter sekira sepuluh meter. Di tengahnya, ada huruf balok berdiri dalam deret. Nama kantornya, Departemen Sihir. Alisku berkerut. Sejak kapan berdiri? Di bawah kementerian apa? Pegawainya honorer atau PNS? Tak apa juga pegawainya kontrak, asal cantik-cantik. Kali ini dalam hati aku tertawa. Hi hi hi.
Maka, dengan semangat 45 aku melangkah yakin menaiki anak tangga menuju halaman depan gedung, lantainya super licin dengan marmer hitam totol-totol putih kecil yang super mengilap. Tampaknya kalau rambut kalian berantakan dan perlu dirapikan serta tak mebawa kaca, kalian bisa menunduk saja. Nanti wajahmu akan terpantul dengan jelas di bawah sana. Namun, apa pun itu, aku harus fokus pada tujuan. Kenapa harus terkecoh pada sekedar bangunan?
Di depan pintu kaca yang terbuka otomatis, aku disambut ramah oleh senyum seorang sekuriti dengan pakaian krem celana cokelat tua. Rambutnya klimis belah kiri dengan tubuh gemoy, aku tahu kancing baju di perut bagian bawah telah berusaha sekuat tenaga saling mengait agar tidak lepas dan terbuka. Kulitnya terlihat sawo kematangan. Cokelatnya terlalu tua, tetapi senyumnya yang seolah tanpa dibuat-buat membuatku respek dan agak kurang yakin ini sebuah kantor yang dikelola dalam negeri. Biasanya hanya sekuriti di kantor-kantor swasta saja yang ramah. Mungkin kejadian-kejadian viral di media sosial sudah cukup untuk membuat dinas-dinas dan kantor-kantor dalam negeri berbenah, ramah melayani warganya.
Ia menyapa dengan salam. Mengenalkan dirinya dengan pelan dan jelas. Memohon dengan halus namaku dan menanyakan keperluannya apa. Aku disuruh berjalan ke alat papan layar sentuh, lalu dipersilakan untuk meng-klik pilihan di sana. Ada berbagai menu dalam daftar. Konsultasi Asmara, Curhat Yuk, Tips dan Solusi Rumah Tangga, Konsultasi Bisnis dan Usaha, Dunia Pertanian, Cara Jitu Lolos CPNS, Kenakalan Anak dan Remaja, Bimbingan Orang Tua, dan menu-menu aneh lain yang aku pun bingung, baru tahu ada kantor seperti ini. Walau sebenarnya memang sangat membantu masyarakat yang sedang kesusahan. Kutekan menu Curhat Yuk dengan ujung jari. Sebuah kertas putih kecil keluar dari lubang kecil di bawah layar dengan nomor urut tertera di sana. G-1028. Busyet! Masih pagi sudah nomor 1028? Bisa pulang malam kalau begini. Aku membatin dan sekuriti seolah mendengar suara hatiku.
“Jangan khawatir Pak. Kami ada jasa konsultasi daring setelahnya. Untuk biaya silakan baca pamfletnya. Ini.” Sekuriti itu memberikan sebuah kertas cokelat mengilap dengan logo tangan berotot mengepal ke atas dalam lingkaran warna merah dikelilingi bintang-bintang warna biru. Entah apa artinya. Sekilah malah mirip logo di sampul bungkus jamu atau obat kuat.
“Asem! Apa-apa sekarang dibuat lahan bisnis. Tetapi, ya sudah lah. Sudah terlanjur sampai di sini. Barangkali membantu.” Aku membatin setelah membaca daftar harga tertera dalam pamflet Curhat Yuk.
Setelah pikiran yang aneh-aneh mengelilingi kepala, aku duduk di sofa dan mengantre seperti puluhan orang lain di sampingku. Banyak juga, ada mas-mas, mba-mb, kakek-nenek, om-om, tante-tante. Kantor ini seolah menyediakan untuk lintas generasi. Pun, apa yang kusangka ternyata salah. Di dalam kantor ini, ada customer service berjumlah puluhan. Berderet dari ujung ke ujung. Tidak ada yang kosong. Sungguh berbeda sekali dengan dinas-dinas dalam negeri yang kadang kosong. Aku merasa sedang di dalam ruangan kantor swasta. Antrean banyak tidak terasa. Dalam lima menit aku sudah dipanggil Mas-Mas, beranjak dari duduk lalu berjalan ke loket yang dituju, ditanyai keluhannya apa. Kukatakan jika istriku tak pulang-pulang. Membawa serta dua anakku. Aku kehilangan jejak dan kontakku diblokir. Kuceritakan segala masalahku. Aku tak tahu apa yang ada dalam benak istriku kenapa ia kabur begitu saja. Harapanku untuk diterima customer service perempuan sirna, yang menerima antreanku Mas-Mas umur sekitar 30-an.
“Perempuan adalah jalanan panjang terjal berliku yang tak pernah selesai untuk dipelajari. Sebagai lelaki, hatimu harus seluas angkasa dan sedalam samudera untuk memahami perangai wanita yang luar biasa. Kau rinci segala hal di jiwa ragamu, adakah yang salah. Mungkin uang belanja, mungkin kata-katamu yang kasar, mungkin kau yang jarang mengajaknya malam Minggu, atau mungkin kau malas membantu pekerjaan rumah tangga di rumah. Sekadar menyapu halaman atau mengganti genting yang bocor. Ini ada kartu nama dan nomor telepon. Konsultasi selanjutnya biaya sudah tertera dengan daftar harga bertingkat per sesi. Kalau setuju silakan tanda tangan di sini. Kami akan memantau Bapak setiap saat via telepon demi keberlanjutan rumah tangga Anda.”
Lagi-lagi asem! Kukira mereka punya komputer khusus atau apa yang bisa melihat koordinat istriku. Kalau sekedar saran-saran sih di Google aku bisa cari sendiri. Atau mungkin aku dikasih air putih dan jampi-jampi biar istriku kembali. Seperti para dukun itu. Departemen Sihir dari mananya? Enggak nyambung sama sekali.
“Kalau Bapak tak percaya, mohon maaf Bapak bisa kembali lagi ke rumah. Antrean kami masih banyak. Biasanya di konsultasi ketiga, permasalahan selesai. Adakalanya mereka yang datang ke sini malah bermasalah dengan dirinya sendiri.”
Aku menelah ludah. Mereka sok-sokan bisa membaca pikiran. Sial. Aku gegas bangkit dari duduk, melihat jam putih besar yang tertempel di dinding dan ternyata aku cuma butuh sepuluh menit di sini. Kubuka pintu kaca untuk keluar dan pulang membawa kartu nama.
Waktu berlalu begitu cepat hingga konsultasi ketiga, yang aneh, istriku benar-benar pulang. Menangis memelukku. Aku tak tahu apakah benar karena aku curhat di kantor ‘aneh’ itu atau apa. Seolah segala saran dari sana adalah sihir yang nyata. Kami melanjutkan kehidupan baru lagi dengan damai hingga sebuah panggilan berdering dari ponselku. Sebuah nama sahabat karib.
“Ron, kalau kamu punya teman semacam telik sandi bilang ya. Karyawanku kabur bawa uang perusahaan. Sialan! Tapi jangan bilang teman polisi. Udah lama banyak biaya! Karyawanku ini ternyata sindikat juga. Aku salah terima. Baru ngeh sekarang! Ia satu komplotan dengan para koruptor yang kabur ke luar negeri. Bakal susah nangkepnya. Kalau kamu punya channel bantu aku ya.”
Tanpa ba-bi-bu, segera aku meluncur ke kantor Departemen Sihir untuk mengutarakan permasalahan temanku itu. Teringat slogan di depan kantornya: Menyelesaikan segala masalah dengan ramah. Namun, apa jawaban customers service di sana?
“Mohon maaf, kantor kami tidak mau ikut-ikut yang begitu Pak. Kalau mereka ditemukan, imbalannya tak setimpal dengan risiko yang kami tanggung. Setelah mereka tertangkap pun, paling cuma dipenjara dua atau empat tahun dengan remisi berlebihan. Duh, pekerjaan yang sia-sia. Kita hidup di negara di mana uang bisa mengendalikan segalanya. Karyawan kami juga bisa mati semua setelahnya. Bapak pura-pura polos atau gimana?”(*)
